Author
Listed:
- Wijoyo Santoso
(Bank Indonesia)
- Reza Anglingkusumo
(Bank Indonesia)
Abstract
Untuk melihat keberhasilan kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi, indikator harga yang digunakan selama ini adalah indeks harga konsumen atau IHK karena indikator ini dapat tersedia lebih cepat dibandingkan indikator harga lainnya seperti indeks harga perdagangan besar (IHPB) dan PDB deflator. Walaupun IHK merupakan pilihan terbaik saat ini sebagai indeks harga yang paling relevan untuk melihat efektivitas kebijakan moneter, namun IHK mengandung kelemahan yaitu noise yang dapat mengganggu judgement kebijakan moneter. Beberapa unsur noise dalam IHK tersebut adalah faktor-faktor seperti kenaikan biaya input produksi (misalnya melalui pass through depresiasi nilai tukar dan kenaikan harga komoditi input untuk industri), kenaikan biaya enerji dan transportasi, kenaikan biaya distribusi domestik (second stage pass through dari depresiasi nilai tukar), kebijakan fiskal, faktor non-ekonomi (misalnya, kerusuhan sosial, bencana banjir, gempa bumi, gejala El-Nino, dan kebakaran hutan), administered prices, dan ketidakseimbangan serta inefisiensi dalam struktur industri. Semua faktor-faktor ini tidak memiliki relevansi dengan kebijakan moneter. Oleh karena itu, telah dilakukan pengukuran underlying inflation yaitu laju inflasi yang diturunkan dari inflasi IHK dengan mengeluarkan unsur noise dalam keranjang IHK. Terdapat beberapa metode untuk membersihkan IHK dari faktor-faktor tersebut antara lain metode specific adjustment, adjustment by exclusion, dan pemangkasan (trimmed method). Dengan mengeluarkan unsur noise dalam inflasi IHK tersebut, yang tersisa adalah laju inflasi yang lebih disebabkan oleh tekanan kekuatan-kekuatan fundamental dari sisi permintaan seperti interaksi antara ekspektasi masyarakat, jumlah uang yang beredar, dan siklus penggunaan kapasitas produksi. Dengan demikian, underlying inflation dapat menjadi proxy untuk inflasi yang disebabkan oleh sisi permintaan yang secara teoritis dekat dan relevan dengan kebijakan moneter. Dalam kaitannya dengan penetapan laju inflasi sebagai target tunggal kebijakan moneter (inflation targeting), underlying inflation dapat berperan sebagai nominal anchor yang menjadi patokan bagi ekspektasi inflasi dan policy stance bank sentral yang kemudian diikuti oleh dunia usaha. Oleh karena itu, sebagaimana di beberapa negara seperti Selandia Baru, Australia, Inggris, dan Kanada yang sudah menggunakan underlying inflation sebagai sasaran tunggal (single target), Bank Indonesia seharusnya menggunakan underlying inflation sebagai indikator dalam rangka memonitor efektivitas kebijakan moneternya Tulisan ini bermaksud memberikan gambaran pada pembaca mengenai konsep dan pengukuran underlying inflation serta implikasinya terhadap kebijakan moneter dan kaitannya dengan penetapan inflasi sebagai sasaran tunggal kebijakan moneter di Indonesia. Bagian pertama adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang dilakukannya penelitian mengenai underlying inflation sebagai indeks harga yang relevan dengan kebijakan moneter. Bagian kedua akan menyediakan landasan konseptual penelitian indikator harga yang relevan dengan kebijakan moneter. Pada bagian ketiga akan diuraikan mengenai metode-metode pengukuran underlying inflation. Di bagian keempat akan dipaparkan mengenai hasil-hasil dari penelitian indeks harga yang relevan dengan kebijakan moneter, khususnya yang berkaitan dengan underlying inflation. Selanjutnya di bagian kelima akan diulas mengenai berbagai pelajaran yang dapat ditarik dari eskalasi krisis moneter terhadap penggunaan inflasi IHK sebagai indikator harga untuk mengukur efektifitas kebijakan moneter. Akhirnya, bagian keenam akan menyimpulkan tulisan ini sekaligus menyampaikan beberapa saran untuk penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan penggunaan underlying inflation dalam skim inflation targeting.
Suggested Citation
Wijoyo Santoso & Reza Anglingkusumo, 1998.
"UNDERLYING INFLATION SEBAGAI INDIKATOR HARGA YANG RELEVAN DENGAN KEBIJAKAN MONETER: Sebuah Tinjauan Untuk Indonesia,"
Bulletin of Monetary Economics and Banking, Bank Indonesia, vol. 1(1), pages 59-83, July.
Handle:
RePEc:idn:journl:v:1:y:1998:i:1e:p:59-83
DOI: https://doi.org/10.21098/bemp.v1i1.161
Download full text from publisher
Corrections
All material on this site has been provided by the respective publishers and authors. You can help correct errors and omissions. When requesting a correction, please mention this item's handle: RePEc:idn:journl:v:1:y:1998:i:1e:p:59-83. See general information about how to correct material in RePEc.
If you have authored this item and are not yet registered with RePEc, we encourage you to do it here. This allows to link your profile to this item. It also allows you to accept potential citations to this item that we are uncertain about.
We have no bibliographic references for this item. You can help adding them by using this form .
If you know of missing items citing this one, you can help us creating those links by adding the relevant references in the same way as above, for each refering item. If you are a registered author of this item, you may also want to check the "citations" tab in your RePEc Author Service profile, as there may be some citations waiting for confirmation.
For technical questions regarding this item, or to correct its authors, title, abstract, bibliographic or download information, contact: Lutzardo Tobing or Jimmy Kathon (email available below). General contact details of provider: https://edirc.repec.org/data/bigovid.html .
Please note that corrections may take a couple of weeks to filter through
the various RePEc services.